Peran Keluarga Dalam Membudayakan Sensor Mandiri di Era Teknologi Digital

Talkshow Sensor Budaya Sensor Mandiri
Dokumentasi Pribadi, 2018

The Moral Premise "Entertain, Educate,ELevate".
If You can get all three of those, you've got the Trifecta Going.
(Mel Gibson)"


Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Perkembangan teknologi serta derasnya informasi menjadi satu tanda perubahan yang dapat kita rasakan sekarang ini. Pun demikian halnya dengan media tontonan yang mengalami fase perubahan dari masa ke masa. Pergeseran tidak hanya dirasakan dari media yang digunakan. Melainkan juga dari konten isi tontonan  kepada masyarakat. Kreativitas dan minat pasar menjadi salah satu indikator merebaknya berbagai tontonan yang hadir di tengah-tengah kita saat ini.
Kalau dulu nih, tontonan hanya dilakukan melalui media kotak bernama Televisi. Namun, sekarang, orang bisa menikmati berbagai tontonan dan film melalui gadget pribadi. Internet tidak dipungkiri memegang peran yang begitu penting. Hingga muncul perumpamaan kalau kuota internet seolah sudah menjadi barang kebutuhan primer. Hehehe.
Meski demikian, sisi lain yang turut berkembang ialah dampak dari tontonan yang dihasilkan begitu besar. Disamping dampak positif, keberadaan dampak negatif pun turut menyertai. Munculnya konten porno, berita hoax serta tontonan yang tidak sesuai dengan nilai dan norma menjadi suatu hal yang tak terhindarkan. Oleh karenanya, salah satu hal penting yang dapat dilakukan ialah melalui budaya sensor pribadi di lingkungan keluarga.Bertepatan di hari Rabu, 26 September 2018 yang lalu, Lembaga Sensor Film bekerjasama dengan BloggerBengkulu mengadakan talkshow dengan tema yang menurutku sangat ciamik, yakni Budaya Sensor Mandiri di Lingkungan Keluarga

Kenapa jadi tema yang menurutku ciamik ?

Sebagai mama muda, tema ini begitu relevan bagiku. Terlebih saat ini, aku punya baby yang masuk kategori generasi alpha yang nantinya akan senantiasa bersingunggan dengan digital media. Seiring berjalannya waktu, dunia digital menjadi hal yang tidak lepas dengan masyarakat di masa mendatang. Sehingga kudu banyak cari tahu dan cari ilmu.
Nah, pada talkshow yang diselenggarakan oleh LSF yang berkerjasama dengan Blogger Bengkulu, hadir dua narasumber yang keren ilmu dan pengalamannya. Narasumber pertama ialah seorang ibu muda yang begitu produktif sekaligus founder dari Komunitas Blogger Bengkulu-Mbak Milda-begitu sapaannya. Sedangkan narasumber kedua ialah ibu Noor-selaku perwakilan dari LSF. Pada kesempatan tersebut, mbak Milda banyak berbincang mengenai Fase perubahan tontonan Di Indonesia. Sedangkan Bu Noor-selaku pihak LSF turut berbagi cerita dan pengalaman mengenai proses sensor serta mensosialisasikan secara langsung mengenai budaya sensor mandiri dalam keluarga. Acara yang digelar di Cafe Konakito ini dihadiri oleh lintas komunitas serta mahasiswa dari beberapa univiersitas di Bengkulu. Sebut saja, komunitas blogger, komunitas film serta mahasiswa dari UMB dan juga UNIB. Nah, lantas apa sih sensor mandiri itu? Yuk simak ulasan berikut.

Dokumentasi Blogger Bengkulu, 2018
Dikutip dari Buku Pedoman Literasi, maka Sensor mandiri merupakan perilaku secara sadar dalam memilah dan memilih tontonan. Sensor mandiri begitu diperlkukan lantaran disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya :

Pertama, Perkembangan dan perubahan teknologi
Tahukah Kalian, bahwa sebelum abad ke 17 informasi disampaikan melalui isyarat. Misalnya lewat bunyi-bunyian maupun asap dan tanda lainnya sebagai upaya menyampaikan isyarat bagi orang lain. Kemudian, terjadi pergeseran di abad 17 hingga 18, dimana informasi disampaikan dengan menggunakan merpati dan kuda. Jadi nostalgia nih ke beberapa film terkait penyampaian informasi lewat merpati ini. Heheh. Lalu muncullah di awal abad ke 20 alat komunikasi seperti telepon rumah, telegram, radio, faks dan lain sebagainya. Fase ini merupakan perkembangan dari adanya revolusi industri di Inggris. Nah, kalau saat ini, sudah dapat kita saksikan sendiri. Orang dapat mengakses apapun dan dimanapun melalui gadget dan smartphone pribadi.

Kedua adalah Revolusi Digital
Pada fase ini terjadi perubahan dari teknologi mekanik dan elektronik analog ke teknologi digital.

Ketiga, adanya Konversi Teknologi
Ketika dulu, informasi berasal dari media cetak bernama koran, buku dan majalah, namun saat ini semua media tersebut sudah dalam bentuk elektronik. Serta dikenal dengan istilah e-book dan lain sebagainya. Dulu orang mengetik menggunakan mesin ketik. Sedangkan sekarang sudah dengan komputer. Proses pengiriman pesan dapat dilakukan dalam hitungan detik melalui e-mail.

Keempat, Konversi Media
Aspek ini dapat dilihat dari bergabungnya berbagai jenis media. Ke dalam satu media tunggal multifungsi. Kita sering menyebutnya dengan smartphone. Orang dimanapun dan kapanpun bisa memanfaatkan smartphone untuk menonton, membaca surat kabaronline, menerima pesan dan lain sebagainya.

Kelima, adanya perubahan akibat perkembangan teknologi
Saat ini, masyarakat dapat berinteraksi secara langsung dengan media massa, bahkan tidak heran lagi dapat menulis dan menyebarkan informasi. Kalau di era sekarang, masyarakat yang demikian dapat disebut sebagai netizen.

Tidak dipungkiri bahwa di era digital saat ini, berbagai kemudahan dapat terjadi. Ketika seseorang hendak menonton film, ia dapat melakukannya kapanpun, dimanapun dan dengan siapapun. Begitu mudahnya bukan? 

Namun yang menjadi catatan bersama ialah bahwa kita perlu memilah dan memilih jenis tontonan yang sesuai. Inilah yang sebenarnya disebut sebagai Sensor Mandiri. Dan sensor mandiri yang dapat dilakukan pertama ialah melalui keluarga. Mengapa Keluarga? Hal ini karena keluarga memiliki fungsi pendidikan dalam mendidik sekaligus merawat anak serta mensosialisasikan nilai dan norma yang berlaku. Disinilah proses sosialisasi primer terjadi. Sehingga karakter anak dapat terbentuk. Tontonan akan membentuk perilaku. Bila baik maka hasilnya baik, pun demikian halnya bila buruk, maka perilaku yang dihasilkan akan merugikan diri sendiri dan masyarakat. Sehingga pendampingan dari keluarga begitu pentingnya dalam memilih tontonan bagi anak.
Nah, berdasarkan undang-undang no 33 Tahun 2009 dan peraturan pemerintah No 18 Tahun 2014 telah dijelaskan mengenai hal-hal yang perlu diwaspadai di dalam film. 
Apa sajakah itu?
Film dan tontonan tersebut tidak menghina dan melecehkan Pancasila serta UUD 1945, tidak membuat seseorang melanggar hukum, tidak mendorong perilaku permisif yang justru merusak budaya. Serta tidak mendorong orang berperilaku konsumtif. 
Oleh karena itu, berdasarkan UU No 33 Tahun 2009 dan PP no 18 Tahun 2014, Lembaga SsF telah mengklasifikasikan tontonan berdasarkan usia, dengan label : SU  13+, 17+ dan 21+. Klasifikasi ini biasanya dapat kita amati di dsudut kanan atau kiri layar. 
Tontonan dengan kategori SU (Semua Usia), merupakan film dan iklan yang dapat diakses semua usia karena tidak merugikan perkembangan kesehatan. Pada tontonan dengan kategori ini hendaknya orang tua dapat menjadi sahabat menonton. Jangan bosan untuk mengenalkan fakta dan fantasi serta membimbing anak dalam mengenal perbedaan dan persamaan. Pada tontonan dengan kategori ini, orang tua dapat mengajarkan aspek baik dan buruk. Berikan penjelasan bila ada pertanyaan dari anak mengenai konten yang ada di dalamnya.
Selanjutnya adalah konten untuk usia 13+ dimana konten ini dinikmati untuk segmen remaja. Sedangkan film 17+ ditujukan untuk anak yang beranjak dewasa. Sedangkan kategori 21+ adalah film dewasa yang umumnya berisi hal-hal yang cocok untuk orang dewasa.  
Dokumentasi Pribadi, 2018
Nah, dari uraian diatas. Ada beberapa tips yang dapat dilakukan oleh kita selaku orang tua dalam menciptakan budaya sensor mandiri di lingkungan keluarga.nton film
Yang utama dan penting dilakukan adalah dampingi anak saat menonton, pilih film yang disesuaikan dengan usia anak. Jangan sampai kita terjebak dengan tontonan yang sebenarnya tidak sesuai dengan usia. Ada tips menarik dari Mbak Milda, bahwa ada baiknya sebelum menonton film nih, terlebih dahulu kita baca review dan sinopsis dari film tersebut. Sehingga kita dapat menentukan apakah film tersebut layak ditonton atau tidak. Kemudian, bila hendak menonton sebuah film, sebaiknya melalui TV ataupun laptop. Orang tua dapat mendownloadkan film yang hendak ditonton tersebut. Hal ini akan memudahkan anak untuk menonton, dan tidak merusak mata karena layar yang digunakan cukup lebar, serta dapat meminimalisir gangguan menonton lantaran aktivitas komunikasi dari smartphone. Disamping itu, dapat meminimalisir anak untuk mengutak atik smartphone.Tak lupa untuk membatasi jam menonton dan mengingatkan hal-hal baik yang patut ditiru dan memiliki nilai positif. Intinya sih jangan bosan-bosannya memberikan nasihat dan memberikan contoh perilaku yang baik. Karena anak akan meniru perilaku orang tua. Serta yang tak kalah penting dan menjadi catatan nih, jangan biasakan mendiamkan anak dengan memberikan smartphone, ini akan membuat anak menjadi tidak terkendali dalam mengakses smartphone.
Nah, begitu kira-kira ulasan pengetahuan yang didapat dari talkshow Budaya Sensor Mandiri tersebut. Tidak dipungkiri peran keluarga begitu penting bukan?Yuk, Mari bersama ciptakan generasi bangsa yang cerdas melalui tontonan yang berkualitas.

4 komentar

  1. Perkembangan teknologi memang luar biasa, sudah banyak pula arus yg bisa membawa pada keburukn. Sensor Mandiri memang perlu

    BalasHapus
  2. Betul tuh mbak, kalau bisa lewat laptop/tv/layar lebar sekalian, jangan dikenalkan hp sama anak. Asli candu banget kalau mereka udah tau cara mainin hape dan streaming youtube. Aku liat sepupu-sepupuku banyak yang ngamuk kalau nggak dikasih hape

    BalasHapus
  3. Perubahan teknologi memang tidak bisa dibendung lagi kita sendirilah yang bisa menjadi filter untuk diri sendiri

    BalasHapus

Terimakasih telah berkunjung Ke Blog Saya, rekan-rekan yang budiman (^_^)