Cagar Budaya Indonesia : Sarana Refleksi dan Proyeksi Sejarah

Candi Prambanan, Yogyakarta (Dok. Penulis)

          Pernahkah terbersit dalam pikiran kita semua? Bagaimana sebuah candi atau benteng serta beragam benda peninggalan sejarah dapat  dibangun sedemikian rupa di masa lampau, yang konon, teknologinya  sederhana dan tidak semaju seperti sekarang ini. Saya yakin pernah.Hal ini tidak heran karena kita sebagai manusia telah dibekali akal oleh Tuhan. Akal inilah yang menjadi dasar bagi kita untuk mempertanyakan sesuatu hingga berupaya mencari jawaban dari pertanyaan tersebut. Saya pribadi sebagai penulis, pernah berpikir dan dibuat terheran-heran dengan kemampuan para leluhur yang mampu membuat bangunan candi, benteng, klenteng hingga masjid yang hingga saat ini masih dapat dilihat oleh generasi penerus bangsa. 


Pada akhirnya beragam pertanyaanpun muncul. Bagaimana struktur sosial masyarakat dan kebudayaan pada saat itu hingga mampu membuat bangunan yang mampu bertahan hingga saat ini? Seperti apa peradaban dikala itu? Bagi saya pribadi, pertanyaan ini mengandung unsur filosofis. Artinya, kebudayaan dan sejarah masyarakat pada masa lampau memiliki nilai dan akan terus menjadi pembahasan menarik untuk kita bicarakan bersama. 
 
Penulis berada di Cagar Budaya "Rumah Pengasingan Bung Karno, Bengkulu"

Rak Isi Buku di Rumah Pengasingan Bung Karno, di Bengkulu

Penulis berada di Cagar Budaya "Candi Borobudur, Yogyakarta"

          Lantas nilai seperti apa yang menarik untuk dibicarakan itu? Saya pribadi mengetahui peninggalan-peninggalan sejarah tersebut, oleh berbagai referensi disebut sebagai cagar budaya. Bila mengacu pada Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pada pasal 1 dijelaskan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan, berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting  bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Pintu masuk ke Makam Inggris di Bengkulu
 
Suasana di Makam Inggris, Bengkulu (Dok. Penulis)
          Dengan demikian, nilai yang terkandung dari peninggalan budaya tersebut sejatinya memuat hal positif, penting dan berdampak bagi masyarakat serta mempengaruhi kelanjutan perjalanan suatu bangsa.  Muatan positif dan penting bagi saya pribadi ialah bahwa cagar budaya Indonesia yang ada saat ini seolah  menjadi sarana refleksi sejarah masa lampau, sekaligus proyeksi arah sejarah bangsa di masa mendatang. Kalau saya boleh ambil contoh, mesjid menara Kudus, yang ada di Jawa Tengah, hakekatnya bila direfleksikan mampu mengajak kita kembali pada masa dimana wali songo sebagai penyebar agama islam, mampu mengakulturasikan kebudayaan jawa yang ada pada masa itu dengan Islam. Sehingga masyarakat mampu menerima islam tanpa perlawanan. Budaya menjadi sarana integrasi bangsa. Lantas di masa sekarang ini. Hal yang cukup memprihatinkan terjadi, ketika persoalan persatuan dapat terpecah karena perbedaan suku, ras budaya dan agama. Perlu kiranya kita proyeksikan bahwa sejarah masa lampau pada hakikatnya menjadi pembelajaran bagi kita untuk mampu menciptakan kondisi bangsa yang jauh lebih baik. Pun demikian dengan berbagai cagar budaya lainnya, perjalanan sejarah dari setiap benda peninggalan sejarah, dapat dipastikan, memiliki muatan nilai untuk dapat dipetik di tiap generasi. Cagar budaya merupakan peninggalan sejarah yang menjadi cermin, bahwa sejarah masa lalu begitu dekat dan membersamai perjalanan dan arah sejarah bangsa. Tidak heran, pada akhirnya keputusan untuk merawat dan melestarikan berbagai Cagar Budaya Indonesia menjadi kewajiban bagi seluruh warga negara. 
          Beberapa waktu yang lalu, saya pribadi sempat melakukan  survei sederhana ke beberapa rekan, yang merupakan anak-anak millenal. Saya mencoba mengajukan pertanyaan kepada 25 orang dalam rangka menjaring pendapat dari para generasi millenial mengenai respon  mereka terhadap keberadaan cagar budaya. Hasilnya, sebanyak 25 orang tersebut menjawab bahwa cagar budaya perlu untuk dirawat. Alasan dari para informan tersebut diantaranya : agar generasi selanjutnya dapat melihat dan mengenang serta menghargai sejarah masa lalu. 
          Saya lantas berpikir, meski para generasi milenial dihadapkan pada kemajuan teknologi seperti sekarang ini, mereka rupanya tetap membutuhkan identitas, simbol dan nilai yang dapat menjadi acuan. Lantas bagaimana upaya perawatan Cagar Budaya tetap lestari? Hampir sebagian besar jawaban dari mereka mengarah pada upaya penyelematan dan pelestarian dengan mengintegrasikan seluruh peran dari berbagai instansi yang terkait. Mengingat, cagar budaya sejatinya dapat menjadi sarana rekreatif, edukatif, religi hingga apresiatif secara bersamaan.
         Terlebih di era sekarang ini, keterlibatan berbagai pihak telah dituntut secara bersamaan. Pelestarian cagar budaya tidak lagi hanya dibebankan pada Balai Pelestarian Cagar Budaya ataupun Dinas Pariwisata. Namun secara masif meliputi seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pemerintah, akademisi, hingga masyarakat umum. Karena kebermanfaatan dari cagar budaya sudah dipastikan mampu memberikan nilai lebih bagi suatu daerah. Salah satunya menjadi identitas  yang kemudian dapat menjadi ikon bagi pengembangan wisata daerah. Bila sudah demikian, tentu saja akan berdampak pula secara langsung pada meningkatnya kesejahteraan ekonomi masyarakat melalui penambahan devisa dari sektor pariwisata, menurunnya angak pengangguran dan lain sebagainya. Perubahan struktur sosial masyarakatpun akan terlihat jelas melalui  semakin kuatnya integrasi masyarakat dalam membangun wilayah dan lain sebagainya. 


Tulisan ini diikutsertakan pada Kompetisi “Blog Cagar Budaya Indonesia:  Rawat atau Musnah!” 
Yuk Ikutan !



Tidak ada komentar

Terimakasih telah berkunjung Ke Blog Saya, rekan-rekan yang budiman (^_^)