Pelestarian Cagar Budaya Menuju Bengkulu Yang Berkemajuan


Benteng Marlborough Merupakan Cagar Budaya di Bengkulu
sumber : Dokumentasi Pribadi
Bengkulu merupakan salah satu Provinsi di Kawasan Sumatera yang memiliki ragam wisata budaya. Bahkan beberapa diantaranya telah ditetapkan sebagai cagar budaya berdasarkan Undang-undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Lantas, apa sebenarnya cagar budaya itu? Pasal 1 ayat 1 dari UU tersebut menjelaskan bahwa bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. 

Perlu diketahui, bahwa ada banyak bangunan di Bengkulu yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya,diantaranya : Makam Inggris, Tugu Thomas Parr, Benteng Malborough, Rumah Pengasingan Bung Karno, Tugu Robert Kapten Hamilton, Makam Sentot Alibasyah, Kantor Pos, Gudang Garam, Mesjid Jamik, 11 bunker peninggalan Jepang dan masih banyak yang lainnya. Bagi yang tinggal di kawasan Bengkulu, tentu saja bangunan-bangunan tersebut tidaklah asing. Sering dilewati, dikunjungi  bahkan menjadi pilihan wisata di akhir pekan bersama keluarga. Bangunan-bangunan tersebut memuat jejak sejarah serta nilai yang keberadaannya memang memiliki arti penting bagi peradaban manusia. 

Nah, sebagai warga, tidak ada salahnya kita mencoba mengamati dan melihat perkembangan pemanfaatan cagar budaya di Provinsi yang dikenal sebagai Bumi Rafflesia ini. Kalau dilihat dan diperhatikan, memang sudah banyak cagar budaya yang mengalami perubahan dan pembenahan. Hanya saja belum optimal. Mengapa demikian? Banyak faktor  yang menyebabkan hal ini terjadi. Disamping revitalisasi yang memang memerlukan waktu, namun masih banyak masyarakat yang belum memahami secara baik mengenai substansi dari cagar budaya itu sendiri. 


Makam Inggris merupakan Cagar Budaya di Bengkulu
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Pemandangan di Makam Inggris
Sumber : Dokumentasi Pribadi


Kecenderungan yang terjadi, masyarakat lebih banyak tahu bahwa bangunan tersebut merupakan tempat wisata. Sehingga masih banyak hal-hal sederhana yang semestinya tidak dilakukan, namun dilakukan. Contohnya : tidak menyentuh, namun masih usil menyentuh, membuang sampah sembarangan, dan lain sebagainya. Pengamat sejarah dan budaya yang sekaligus Dosen di Salah satu Univeristas Negeri di Bengkulu, Dr. Agus Setiyantio, M.Hum ketika di wawancara menyampaikan bahwa keberadaan produk budaya memang perlu untuk dilestarikan, diselamatkan dan dimanfaatkan. 

“Produk budaya bisa dilestarikan dan diselamatkan dan dimanfaatkan. Karena dalam uu tersebut dijelaskan secara gamblang hingga     pemanfaatannya.......... Di Kota sendiri, masih banyak juga masyarakat yang belum tahu tentang memperlakukan cagar budaya secara semestinya. Misalnya saja , makam Inggris di Jitra. Seharusnya (Pengelola) ....harusnya tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana menjaganya. Para pengunjung (ketika kesana), bingung, karena dipakai untuk duduk dan jemuran. Sehingga menganggu pemandangan. Dalam cagar budaya sendiri kan memang ada aturan mengenai zona, misalnya dalam radius berapa meter (sebuah bangunan/produk budaya) harus dikosongkan karena memang ada aturannya.  itu resikonya kalau cagar budaya bersatu dengan lingkungan perkampungan. Kalau masyarakatnya tidak punya kesadaran yang cukup tentang arti pentingnya kebudayaan maka akan memperlakukan sama halnya dengan barang-barang lainnya.”(Wawancara, 3 Desember 2018)

Lebih lanjut lagi, beliau menambahkan bahwa pada kasus tertentu, di beberapa kawasan ketidaktahuan masyarakat menyebabkan bangunan bersejarah yang semestinya merupakan cagar budaya, seringkali diakui milik pribadi, kelompok atau milik lelehurunya. Misalnya : batu-batu besar, serta bangunan sejarah yang terdapat di kawasan pelosok. Persoalan ini muncul lantaran disebabkan juga oleh  ketidaktahuan bahwa ada lembaga yang memang menangani tentang cagar budaya itu. Dalam hal ini memang, pemerintah dan balai pelestari budaya perlu senantiasa sigap untuk jemput bola dan tidak sekadar menunggu laporan dari pihak masyarakat. 
Rumah Pengasingan Bung Karno merupakan Cagar Budaya di Bengkulu
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Rumah Pengasingan Bung Karno
Sumber :  Dokumentasi Pribadi
Penetapan Mesjid Jamik Bengkulu Sebagai Cagar Budaya di Bengkulu
Sumber : Dokumentasi Pribadi


Mesjid Jamik Bengkulu merupakan Cagar Budaya di Bengkulu
Sumber : Dokumentasi Pribadi
 Saya yakin sosialisasi perihal cagar budaya ini  telah menjadi agenda rutin dan penting yang telah di lakukan oleh pemerintah. Namun, frekuensi dan intensitas sosialiasi tersebut yang menjadi penting juga untuk saat ini. Pertemuan dan diskusi dalam berbagai kesempatan menjadi momentum yang dapat dimanfaatkan antara pemerintah dan masyarakat lokal. Setidaknya dalam hal ini, perlu adanya prinsip bahwa masyarakat mesti dipaksa untuk tahu. Pemanfataan media sosial di era digital seperti sekarang ini menjadi peluang untuk terus menyebarkan informasi  tentang cagar budaya Bengkulu. 
Sisi Dalam Benteng Marlborough
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Benteng Marlborough merupakan Cagar Budaya di Bengkulu
Sumber :  Dokumentasi Pribadi

Meriam di Benteng Marlborough
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Nah, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, keberadaan cagar budaya menjadi hal perlu untuk dilestarikan, serta dimanfaatkan seluas-luasnya oleh masyarakat. Kalau dari aspek pemanfaatannya, upaya untuk menggali ide dan kreativitas menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Lebih lanjut, Dr. Agus Setiyanto, M.Hum menambahkan bahwa masyarakat sebenarnya perlu memiliki kemampuan untuk menangkap peluang. Melalui upaya membaca keinginan wisatawan itu sendiri. Misalnya :  memanfaatkan momentum dengan menjual jasa, produk dan kreativitas lainnya. Dalam diskusi yang dilakukan oleh penulis, Pak Agus-sapaan beliau- menegaskan hal berikut :

“Cagar budaya perlu dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menunjang ekonomi masyarakat.” (Wawancara, 3 Desember 2018)

Dosen yang sekaligus pemilik cafe papukmamuk ini menambahkan bahwa realitas yang terjadi memang pemanfaatannya memang masih terbatas. Padahal cagar budaya adalah aset yang punya manfaat dan potensi yang besar untuk dimanfaatkan. Misalnya : melalui pengadaan paket wisata yang membuat pengunjung dapat mengunjungi beberapa spot cagar budaya dalam satu trip, menjual miniatur bangunan cagar budaya, misalnya : bangunan benteng malborough, pengadaan kuda untuk melintasi cagar budaya, pengadaan model baju zaman dulu, ataupun prajurit Inggris, menir dan none Inggris ataupun model, dengan pakaian ala Inggris yang dapat berpose bersama pengunjung. Hal-hal tersebut menjadi bentuk kreativitas yang bisa dijual sebagai upaya memanfaatkan peluang dari masyarakat kepada para wisatawan. Edukasi mengenai aspek pemanfaatan ini perlu diberikan serta di gali lebih lanjut. 

Selanjutnya adalah adanyanya harapan berupa adanya sinergisitas dari seluruh stake holder. Serta meminimalisir kepentingan kelompok ataupun pribadi. Cagar budaya adalah milik bersama, oleh karena itu upaya pemanfaatan dan pelestarian perlu mengandeng seluruh elemen masyarakat. Diharapkan bisa bekerjasama dengan lembaga/komunitas dan kelompok yang memiliki kesamaan visi misi. Sehingga memudahkan untuk upaya perbaikan. Salah satunya adalah komunitas yang didominasi oleh anak muda. Ada satu penelitian menarik yang dilakukan oleh Wiranstari (2012) yang menyatakan bahwa perbedaan usia akan mempengaruhi gaya peran serta. Pemerintah perlu melihat mengandeng anak muda karena dapat menjadi garda depan untuk ikut serta berpartisipasi dalam melestarikan cagar budaya yang ada. Mereka punya peluang, mereka punya potensi. Terlebih dengan pengetahuan dan keterampilan para generasi milenial tersebut di bidang teknologi. Anak muda justru dapat membantu menyebarluaskan informasi dan promosi mengenai cagar budaya ini. Yang penting, kepercayaan untuk memberikan ruang bekreasi secara positif. 

Disamping itu,sudah saatnya, bagi pemerintah, akademisi, profesional untuk membentuk jaringan kerja bersama dengan masyarakat lokal. Karena selama ini terkesan dan  seolah-olah berjalan sendiri-sendiri. Pemerintah berjalan hanya berdasarkan tupoksi, perguruan tinggi seperti menara gading yang hanya melihat secara teori, dan profesional hanya profit semata. Setidaknya, bila ada jaringan kerja demikian, ke depan penelitian yang dilakukan di perguruan tinggi, tidak menutup kemungkinan dapat memberikan semacam rekomendasi kebijakan yang responsif kepada pemerintah dan profesional dalam menetapkan aturan dan kebijakan guna pelestarian dan pemanfaaatan cagar budaya. Demi mewujudkan Bengkulu yang berkemajuan dan berbudaya.







Tidak ada komentar

Terimakasih telah berkunjung Ke Blog Saya, rekan-rekan yang budiman (^_^)